Senin, 19 November 2012

TUGAS 7 PERTENTANGAN SOSIAL & INTEGRASI MASYARAKAT


MENCERITAKAN KEMBALI MENGENAI KONFLIK YG TERJADI DI LAMPUNG BARU-BARU INI

Pemicu terjadinya bentrokan besar merupakan persoalan kecelakaan lalu lintas, tapi akar permasalahannya yaitu persoalan sosial kerakyatan yang hingga kini belum bisa diselesaikan pemerintah daerah.
pemerintah harus membuat sebuah kebijakan yang bisa menciptakan pembangunan yang merata sehingga tidak ada kesenjangan antarkelompok yaitu masyarakat pendatang dan setempat.

Modus konflik lampung itu hampir sama dengan beberapa konflik di daerah yaitu perselisihan antaretnis, berawal dari kebencian yang menebal, persaingan di antara mereka, dan kebijakan struktural yang menciptakan perselisihan antar kelompok. Jika persoalan itu masih terus ada,konflik horizontal di masyarakat akan terus terjadi.

Senin, 12 November 2012

TUGAS 6 "PELAPISAN SOSIAL DAN PERSAMAAN DERAJAT"


penjelasan yang cukup singkat dan padat berkaitan dengan kasta dilihat dari perspektif Agama, Sosial Budaya serta Hukum dan HAM. Semoga dengan penjelasan ini mampu membuka cakrawala berpikir masyarakat Indonesia khususnya Bali bahwa perbedaan bukanlah musibah melainkan anugerahNya. Diharapkan pola berpikir masyarakat semakin cerdas nan modern bukan sempit dan kedaerahan serta fanatis.
KASTA perspektif Agama Hindu
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang statusBrahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu (Manawa Dharmasastra). Seperti yang dikemukakan diatas bahwa kata Kasta sama sekali tidak ditemukan dalam naskah suci Hindu. Bahkan dalam Weda yang merupakan kitab suci umat Hindu sebagai wahyu Tuhan, juga tidak mengenal istilah kasta melainkan hanya warna. Berikut adalah beberapa naskah Hindu di Bali yang menyebut berkaitan dengan warna:
a. Yajur Weda XXX.5, sebagai berikut;
Brahmane brahmanam,Kshtariya
rajanyam, marudbhyo Vaishyam
tapase Sudram.
(Tuhan  telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, Ksatria untuk perlindungan, Vaishya untuk perdagangan dan Sudra untuk pekerjaan jasmani)
Contoh lainnya dapat dilihat dalam Yajur Weda XVIII. 38 dan Yajur Weda XXXI.II
b. Reg Weda X 90.12 sebagai berikut:
Brahmanosya nwkhamasid bahu
rajdnyah krtah, uru tadarsya yad
vaishyah padbhyam suro
aja yata
(Brahmana lahir dari wajahnya Tuhan, dan Ksatria lahir dari kedua bahunya, Wesia dilahirkan dari perutnya dan dari kakinya lahirlah Sudra)
c. Bhagavad Gita IV.13 sebagai berikut;
Caturvarnyam maya srstam
Guna karma vibagasah
Tasya kartaram api mam
Viddhi akartaram a vyayam
(Catur warna Aku ciptakan berdasarkan guna dan karma. Meskipun Aku sebagai penciptanya, Aku mengatasi gerak dan perubahan)
Contoh lainnya dapat dilihat dalam Bhagavad Gita XVIII.41.
d. Sarasamuccaya, sloka 58.
Adhitya wedan parisamtirya
Cagni nistwa yajnaih palayitwa prajacca
Bhrtyam bhrtwa jnatisamban dhinasca
Danam dattwa ksatriyah swargameti
(Ada pun tingkah laku seorang ksatria, mempelajari Weda, senantiasa melakukan agni horta, melakuka yadnya, menjaga negara, mengawal pasukan bawahannya sampai pada sanak keluarganya. Memberi Dharma, jika berbuat demikian, kelak alam surge akan diperolehnya)
Contoh lainnya dapat dilihat dalam Sarasamuccaya, sloka 57, Sarasamuccaya sloka 59 dan Sarasamuccaya,sloka 60.
Menurut Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar (1974), “Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan “warna” dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman”. Beliau juga menambahkan bahwa kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna. Sementara itu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga turut mengkaji serta meneliti kebenaran “kasta” yang ternyata juga bertentangan dengan ajaran Agama Hindu. Hal ini ditegaskan dan dibuktikan dengan dikeluarkannya Bhisama untuk meluruskan pemahaman Umat Hindu di Indonesia khususnya Bali.  Bisa dilihat dalam Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor : 03/ Bhisama/ Sabba Pandita Parisada Pusat/ X/ 2002 tentang Pengamalan Catur Warna. Sedikit dibagian penjelasan terkait latar belakang Bhisama ini adalah bahwa  ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab Suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (hindu) lainnya adalah ajaran yang Mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan tersebut sangat meracuni perkembangan Agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang timbul karena penyimpangan tersebut sehingga merusak citra Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia.
KASTA perspektif sosial budaya
Dilihat kondisi kekinian di Bali dalam konteks kasta, masyarakat tengah berada dalam transisi menuju pada Ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu) yakni warna yang tentu mengacu pada kesetaraan. Namun sebagian masyarakat Bali masih saja berpikir kuno  ingin tetap mengajegkan (memberlakukan) sistem kasta seperti pada masa kerajaan atau masa kolonial Belanda dahulu. Padahal kasta sendiri merupakan lumbung permasalahan konflik sosial di Bali. Sesungguhnya Kasta juga merupakan senjata ampuh yang digunakan pada masa pemerintahan kolonial Belanda melalui politik divide et impera (politik adu domba). Hampir di semua daerah di Bali pernah merasakan panasnya konflik Kasta tersebut. Mulai dari Konflik Kasta di Sesetan, Denpasar (1980), Konflik Kasta di Selemadeg, Tabanan (2005), Konflik Kasta di Desa Tampak Siring, Gianyar (2006), Konflik Kasta di Desa Manggis, Karangasem (2006) dan Konflik Kasta di Desa Tusan, Klungkung (2007) adalah sedikit contoh konflik sosial yang berakar dari Kasta. Selain konflik diatas yang bertalian dengan konflik kasta antar banjar bahkan desa adat, terdapat juga permasalahan sosial lainnya yang hingga kini senantiasa masih dipermasalahkan. Salah satunya adalah perkawinan antar kasta. Jika dulu Bali memiliki hukuman Adat yang sangat kejam yakni labuh gni (dibakar hidup-hidup), “labuh batu” (dibuang ke laut dengan batu pemberat), ditikam dengan keris, diasingkan (diselong) ke seberang tanpa biaya hidup dll terhadap mereka yang melakukan perkawinan antar kasta, kini kendati masyarakat Bali tidak lagi menerapkan hukuman tersebut seiring perkembangan zaman tetap saja larangan-larangan masih eksis hingga kini. Bagaimana perkawinan antar kasta masih sering menghadapi ancaman serius. Pelarangan tersebut lebih sering muncul dari mereka dengan keluarga kasta lebih tinggi dengan mereka yang berkasta lebih rendah. Kini pun masih sering kasta lebih rendah melarang terjadinya perkawinan antar kasta. Bahkan perjodohan di Bali masih terjadi dikarenakan adanya pembedaan mengatasnamakan Kasta tersebut. Ironisnya tidak hanya terjadi dalam perkawinan, hanya berstatus pacaran saja sudah akan mendapat batu sandungan/ ancaman serius dari mereka yang masih ingin melanggengkan Kasta. Hal ini tentu sangat diskriminatif. Diksriminatif termasuk dalam pergaulan sosial sehari-harinya. Belakangan konflik kasta tidak hanya muncul secara kasat mata namun justru lebih terang-terangan mencuat ke dalam konflik adat.
KASTA perspektif Hukum dan HAM
Yang menjadi salah satu syarat dalam suatu negara Hukum baik negara tersebut menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law adalah Perlindungan HAM. Di zaman yang modern sekarang ini semua negara di dunia mendeklarasikan negaranya sebagai negara Hukum. Indonesia adalah salah satunya. Hal ini sudah jelas secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Hukum. Jadi disini Indonesia sebagai Negara Hukum wajib menjunjung tinggi HAM dan memberikan perlindungan terhadap HAM. Hukum sangat berkaitan dengan HAM oleh karena itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal ini diperkuat oleh sejumlah Instrumen HAM Internasional dan Instrumen HAM Nasional yang sangat menentang adanya sikap diskriminatif. Hukum sendiri dengan asasnya yakni Equality before the law menunjukkan bahwa Semua orang sama kedudukannya di mata Hukum. Artinya baik mereka golongan masyarakat atas seperti bangsawan, pejabat, dan sebagainya harus diperlakukan sama dengan siapapun (non diskriminatif) dihadapan Hukum. Berikut ini merupakan Instrumen Hukum HAM Internasional dan Instrumen HAM Nasional yang bertentangan dengan sikap-sikap diskriminatif termasuk Kasta.
Instrumen HAM Internasional
1. Charter of United Nations (Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa) 1945
Pasal 1 ayat (3) dari piagam tersebut memuat salah satu tujuan didirikannya PBB, yakni untuk penghormatan terhadap HAM sebagai berikut:
“To achieve international  cooperation in solving international problem of an economic, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.”
(Untuk mewujudkan kerjasama Internasional dalam memecahkan masalah-masalah Internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan dan untuk memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar untuk semua orang tanpa pembedaan atas keturunan (ras), kelamin, bahasa dan agama).
Penegasan terhadap ketentuan diatas terdapat pada pasal 13 ayat (1) huruf b.
2. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Sedunia HAM PBB) 1948
Pasal 1 deklarasi ini menyebutkan sebagai berikut.
All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”
(Semua manusia dilahirkan mempunyai kesamaan dalam kemuliaan dan hak asasi.Mereka dikaruniai akal sehat dan kesadaran hati nurani, serta harus bertindak satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan).
Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“Everyone in entitled the rights and freedom set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political social origin, property, birth or other status”.
3. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) 1966
Perlindungan terhadap HAM dapat dilihat dalam alenia pertama (I) dan preambulnya yakni berkaitan dengan prinsip “kesetaraan martabat” dan “kesamaan hak” (inherent dignity and equal right) sebagai berikut:
… ” recognition of the “inherent dignity” and of the “equal and in alienable rights” of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world”.
Dikaitkan dengan kasta di Bali, kasta sangat tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan martabat dan kesamaan hak karena pada hakekatnya sistem kasta memandang rendah martabat manusia yang berasal dari kasta rendahan dalam bentuk tindakan diskriminatif dan pembedaan.
Pasal 2 ayat (1) kovenan ini juga mewajibkan negara peserta untuk menghormati dan melindungi HAM tanpa adanya diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik dan pandangan lain, kebangsaan atau asal-usul sosial,kepemilikan, kelahiran dan status lainnya. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 12 tahun 2005 sehingga Indonesia menyatakan diri terikat pada kewajiban Internasional dan apabila terdapat pelanggaran oleh Indonesia maka dapat dipermasalahkan  di depan lembaga Internasional.
4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, sosial dan Budaya) 1966
Alenia I kovenan ini merupakan penegasan kembali prinsip kesetaraan martabat dan kesamaan hak. Sementara dalam batang tubuh kovenan ini yang perlu diperhatikan adalah pasal 15 ayat (1) huruf a tentang hak budaya sebagai berikut:
“The states parties to the present covenant recognize the rights of every one; to take part in cultural life”
(Negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan).
Hal ini berkaitan dengan contoh diskriminasi oleh Desa Adat/ Pakraman terhadap Gending,Klungkung 1980) menyebabkan para Sulinggih tidak dapat berperan serta dalam mengaktualisasikan diri pada kegiatan upacara agama, padahal kegiatan beragama merupakan salah satu bentuk dari kegiatan budaya yang tidak tampak (intangible). Kovenan ini juga telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2005 sebagai hukum positif.
5. International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial) 1965
Yang dimaksudkan dengan diskriminasi rasial telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) yakni sebagai berikut :
In this convention the  term “racial discrimination” shall mean any distinction, exclution, restriction or preference based on race, colour, “descent“, or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing of human rights and fundamental freedom, in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”
(Dalam konvensi ini, istilah “diskriminasi rasial” harus diartikan suatu pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, “keturunan” atau kebangsaan atau asal-usul etnis, yang bertujuan atau berakibat hapusnya atau dilemahkannya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar persamaan HAM dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau di bidang kehidupan lainnya).
Kalau dilihat kondisi Bali, jelas bahwa diskriminasi kasta merupakan diskriminasi rasial karena hakekatnya terjadi didasarkan atas keturunan (descent). Konvensi ini sendiri telah menjadi hukum positif di Indonesia melalui UU No. 20 tahun 1999
Pasal 2 ayat (1) dan (2) dari Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk mengutuk setiap tindakan diskriminasi rasial dan memberikan perlindungan serta menjamin agar prinsip kesetaraan martabat dan kesamaan HAM dan kebebasan dasar.
6. Convention Againts Torture and Other Cruel. Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman yang tidak berperikemanusiaan Tindakan atau Hukuman yang Merendahkan Martabat Manusia) 1984.
Konvensi ini sangat berkaitan erat dengan sejumlah hukuman adat yang sangat kejam pada masa lalu di Bali seperti Labuh Geni (dibakar hidup-hidup), Labuh Batu (dibuang ke laut dengan batu pemberat), ditikam dengan keris,dll; yang mana kesemua hal tersebut diakibatkan hanya karena melakukan perkawinan antar kasta. Dengan diratifikasinya konvensi ini merupakan penegasan bahwa hukuman semacam itu tidak berlaku lagi di Bali dan di Indonesia sendiri. Hal ini dapat dilihat pada bunyi Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut:
“For the purpose of this convention term “turture” means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental …. as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act or a third person has committed”….

Instrumen HAM Nasional
1. Konstitusi yakni UUD Negara Republik Indonesia 1945
A. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
Crucial point dari pasal 27 ayat (1) diatas adalah terletak pada kedudukan dari setiap warga negara sama (setara) tanpa ada pembedaan dalam hukum dan pemerintahan. Jadi jelas dalam hal ini pembedaan dalam bentuk apapun termasuk Kasta tidak dikenal bahkan tidak ada secara Konstitusional.
B. Pasal 28B ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Crucial point dari pasal 28B ayat (1) yakni bahwa setiap orang tanpa pembedaan apapun memiliki haknya masing-masing dalam membentuk keluarga serta memiliki keturunan melalui perkawinan yang sah. Jadi jelas dalam pasal 28B ayat (1) bertentangan dengan sistem kasta yang melarang adanya perkawinan antarkasta dan perlu dipahami bahwa sepanjang perkawinan tersebut sah maka akan memiliki kepastian hukum dan tentu mendapat perlindungan hukum. Larangan perkawinan antar kasta jelas bertentangan secara konstitusional dengan UUD 1945.
C. Pasal 28G ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Jelas dalam pasal ini memiliki poin krusial pada perlindungan HAM yang hakiki. Setiap tindakan termasuk pelecehan terhadap kehormatan dan martabat seseorang yang terjadi akibat sikap diskriminatif oleh kasta sudah jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang menjamin hak-hak konstitusional setiap warga negara.
D. Pasal 28J ayat (1) menyatakan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Artinya bahwa demi mewujudkan persatuan Indonesia serta harmonisasi dalam kehidupan sosial maka setiap orang wajib dan merupakan keharusan menghormati HAM orang lain tidak peduli terhadap pembedaan baik yang mengatasnamakan kasta atau apapun itu karena pada hakekatnya setiap orang adalah sama (equal rights).
E. Dan sejumlah pasal-pasal lainnya dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD NRI 1945 yang mana kesemuanya menunjukkan perlindungan terhadap HAM dijamin secara konstitusional sehingga pembedaan seperti sistem Kasta di Bali sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan martabat dan hak asasi.
2. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
a. Bagian konsideran menimbang, hurud (d) yang menyatakan “Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrument Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia”.
Artinya UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan penegasan bahwa Indonesia terikat secara moral dan hukum baik dikarenakan Indonesia adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun dikarenakan Piagam, Deklarasi serta Konvensi yang juga termasuk dalam Perjanjian Internasional.
b. Pasal 1 angka 3 tentang pengertian dari istilah diskriminasi yakni tindakan-tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan berdasarkan agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan dll terhadap penikmatan hak-hak tersebut.
Bahwa benar jika kasta merupakan sikap diskriminatif karena pada hakekatnya ada diskriminasi antara kelompok keturunan Triwangsa (Brahmana, Ksatrya, Waisya) terhadap kelompok Sudra (Jaba) wangsa.
c. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat, serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dalam semangat persaudaraan”.
Jelas dalam pasal ini menunjukkan ada prinsip kesetaraan terhadap harkat dan martabat setiap orang tanpa terkecuali.
d. Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami atau calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal ini menunjukkan bahwa larangan perkawinan antar kasta menjadi tidak masuk akal ketika ada intervensi dari orangtua (keluarga) yang mengatasnamakan Kasta tentu bukan merupakan suatu kehendak bebas karena berada dibawah tekanan bahkan keterpaksaan. Hal ini masih sering terjadi di Bali dimana ada kesan bukan anaknya yang akan melangsungkan perkawinan justru seperti orang tuanya yang ingin kawin lagi karena didasarkan pada kasta tadi bukan kehendak bebas. Perjodohan juga sering terjadi karenanya sehingga bagaimana Perkawinan bisa membentuk dan membina keluarga yang sesuai dengan tujuan yang mulia dan luhur jika prosesnya berlandaskan atas keterpaksaan.
3. Undang-undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
a. Konsideran bagian menimbang huruf (a) menyatakan bahw manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun.
b. Pasal 1 angka (1)  terkait dengan pengertian diskriminasi ras dan etnis yakni segala tindalam berupa pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilahan dalam penikmatan HAM atas dasar ras dan etnis.
Ras adalah penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik atau keturunan (Pasal 1 angka (2)).
Etnis adalah penggolongan manusia atas kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat-istiadat, bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan lainnya (Pasal 1 angka (3)).
Diskriminasi kasta di Bali sendiri memenuhi unsur keduanya sehingga termasuk dalam diskriminasi ras dan etnis.
c. Pasal 2 ayat (1) menyatakan “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal”.
d. Pasal 3 UU ini menegaskan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis adalah untuk mewujudkan suasana kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian dan keamanan di kalangan warga negara yang pada hakekatnya selalu hidup berdampingan.
e. Pasal 13 dan Pasal 14 menyatakan bahwa setiap orang yang mengalami kerugian karena tindakan diskriminasi HAM berdasarkan ras atau etnis dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan berwenang baik secara individu atau bersama-sama (class action).
f. Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 adalah pasal-pasal yang mengancamkan hukuman pidana bagi mereka yang diduga sengaja melakukan diskriminasi, rasa benci, perampasan nyawa, penganiayaan, pemerkosaan, pencabulan, pencurian dengan kekerasan atau perampokan kemerdekaan atas dasar rasa tau etnis, diancam dengan hukuman penjara dari minimal 1 tahun sampai maksimal 5 tahun atau denda sampai maksimum Rp 500.000.
Daftar Bacaan
Diantha,Md Pasek dan I Gd Pasek Eka Wisanjaya, 2010, KASTA dalam perspektif Hukum dan HAM, Udayana University Press, Denpasar.
Wiana, Kt dan Raka Santeri, 1993, Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.

Rabu, 24 Oktober 2012

LAPORAM PENDAHULUAN 2


1.Apa yang kalian ketahui tentang pengulangan? Jelas dan sebutkan macamnya!
Perulangan 
Dalam pemrograman ada kalanya kita memerlukan perulangan untuk melakukan suatu perintah yang sama untuk beberapa kali. Pada visual basic terdapat beberapa macam struktur kondisi perulangan, diantaranya adalah Do … Loop dan For … Next. Untuk lebih jelasnya berikut adalah macam – macam bentuk perulangan dalam visual basic :

Do While … Loop
Kata while dalam pernyataan Do While merintahkan program untuk melakukan perulangan apabila kondisi persyaratan masih bernilai True. Apabila kondisi persyaratan bernilai False maka program akan keluar dari perulangan dan berpindah ke kode program berikutnya. Bentuk sintaks perulangan Do While adalah :

Do While Kondisi
Pernyataan
…..
Loop

Sintaks di atas adalah bentuk Do While dimana kondisi akhir perulangan terletak di awal sedangkan bentuk Do While yang letak kondisi akhirnya di akhir adalah sebagai berikut :

Do
Pernyataan
……
Loop While Kondisi

Do Until … Loop
Pada dasarnya, perulangan DO Until sama dengan perulangan DO While. Yang membedakannya adalah pada perulangan Do While perulangan akan terus berjalan selama kondisi bernilai True dan akan berhenti jika kondisi bernilai False sedangkan pada perulangan Do Until perulangan akan terus berjalan apabila kondisi bernilai salah dan akan brhenti jika kondisi bernilai True. Sintaks dari perulangan Do Until adalah :
Do Until Kondisi
Pernyataan
…..
Loop
Perulangan Do Until juga memiliki bentuk sintaks yang lain dimana kondisi diletakkan di akhir pernyataan perulangan. Bentuk sintaksnya adalah sebagai berikut :

Do
Pernyataan
……
Loop Until Kondisi


While … Wend
Perulangan While … Wend digunakan saat kita ingin pernyataan pada program dijalankan selama kondisi ekspresi yang di tetapkan masih bernilai True . Sintaks perulangan While Wend adalah :

While Ekspresi
Pernyataan
…..
Wend

For … Next 
Perulangan For … Next digunakan untuk melakukan perulangan dengan jumlah tertentu yang kita kehendaki. Kita harus mendeklarasikan sebuah variabel yang akan digunakan sebagai indeks untuk perulangan. Sintaks perulangan For … Next adalah :

For Indeks = NilaiAwal To NilaiAkhir
Pernyataan
…..
Next Indeks

2.Apa yang kalian ketahui tentang mdi form dan menu editor?
MDIForm adalah :
a. Didalam satu project hanya dapat terdiri dari satu MDIForm
b. Anda tidak dapat menempatkan kontrol-kontrol secara langsung
pada MDIForm, kecuali kontrol yang memiliki properti Alignment,
atau menempatkannya diatas kontainer seperti Picturebox.
c. Anda tidak dapat menggunakan metode pengambaran (Print, Line,
Circle, dan PSet) seperti pada form umumnya.

Menu Editor :
Untuk membuat menu Pada aplikasi, Visual Basic 6 menyediakan
sebuah sarana yang sangat mudah digunakan yaitu Menu Editor.
Untuk menampilkan Window Menu Editor ini pilihlah menu Tools >
Menu Editor  atau tekan  Ctrl+E  atau pilih icon  Menu Editor               
pada toolbar.

Selasa, 23 Oktober 2012

ILMU SOSIAL DASAR


TUGAS 5
A.   SIAPA SAJA YANG DISEBUT WARGA NEGARA INDONESIA?
Sebagai bangsa Indonesia, kita mungkin masih belum memahami sepenuhnya siapa-siapa saja yang termasuk warga negara? dan siapa yang bukan warga negara? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali membuat kita bingung karena belum mengetahui batasan-batasan yang jelas mengenai warga negara Indonesia.
Pada Kesempatan kali ini saya akan mencoba membagikan informasi mengenai warga negara Indonesia. Silakan para pembaca menyimak pemaparan saya berikut ini.
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP), berdasarkan kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.     setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.    anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.    anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.    anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.    anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.    anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.  anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1.     anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.    anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.    anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.    anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.     Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.    Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Setelah umur 18 tahun atau setelah menikah, dia wajib memilih salah satu kewarganegaraan. Undang-undang memberikan waktu paling lambat tiga tahun bagi anak tersebut untuk memilih kewarganegaraan setelah usia 18 atau setelah menikah. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soliterbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).
Ius sanguinis atau jus sanguinis (bahasa Latin untuk “hak untuk darah”) adalah hak kewarganegaraan yang diperoleh seseorang (individu) berdasarkan kewarganegaraan ayah atau ibu biologisnya. Kebanyakan bangsa yang memiliki sejarah panjang menerapkan asas ini, seperti negara-negara di Eropa dan Asia Timur.
Ius soli atau jus soli (bahasa Latin untuk “hak untuk wilayah”) adalah hak mendapatkan kewarganegaraan yang dapat diperoleh bagi individu berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara. Dia berlawanan dengan jus sanguinis (hak untuk darah).
Biasanya sebuah peraturan praktikal pemerolehan nasionalitas atau kewarganegaraan sebuah negara oleh kelahiran di wilayah tersebut diberikan oleh sebuah hukum turunan disebut lex soli. Banyak negara memberikan lex soli tertentu, dalam aplikasi dengan jus soli yang bersangkutan, dan aturan ini yang paling umum untuk memperoleh nasionalitas.
Sebuah pengecualian lex soli diterapkan bila anak yang dilahirkan orang tuanya adalah seorang diplomat dari negara lain, yang dalam misi di negara bersangkutan.
Namun, banyak negara memperketat lex soli dengan mengharuskan paling tidak salah satu orang tua harus memiliki warga negara yang bersangkutan atau izin tinggal resmi lainnya pada saat kelahiran anak tersebut. Alasan utama menerapkan aturan tersebut adalah untuk membatasi jumlah orang bepergian ke negara lain dengan tujuan mendapatkan kewarganegaraan untuk seorang anak.
Ius soli umum di negara-negara di Amerika dan di tempat lain yang ingin mengembangkan dan meningkatkan penduduk mereka. Beberapa negara yang menerapkan ius soli adalah
§  Argentina
§  Brazil
§  Jamaika
§  Kanada
§  Meksiko
§  Amerika Serikat
Selain berdasarkan tempat kelahiran dan hubungan darah, seseorang juga bisa mengajukan diri untuk menjadi warga negara Indonesia. Permohonan ini disebut pewarganegaraan. Syarat-syarat pewarganegaraan adalah usia 18 tahun, tinggal di Indonesia minimal 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia, mengakui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dan tidak pernah dijatuhi pidana. Pemberian kewarganegaraan Indonesia tidak boleh membuat orang tersebut memiliki kewarganegaraan ganda, syarat lainnya adalah memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap, serta membayar uang pewarganegaraan kepada kas negara. Proses pengajuan pewarganegaraan dilakukan melalui kantor imigrasi. Pengabulan permohonan ditetapkan dengan keputusan presiden.

Selain proses tersebut, pewarganegaraan juga dapat diberikan kepada seseorang yang dianggap berjasa kepada Indonesia atau dengan alasan demi kepentingan negara. Pewarganegaraan ini diberikan presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, pewarganegaraan ini tidak dapat dilakukan jika akhirnya membuat seseorang memiliki kewarganegaraan ganda.

Salah satu contoh nyata dari penerapan proses pewarganegaraan adalah pada pemain sepak bola kesayangan bangsa Indonesia, Christian Gonzales. Berdasarkan aturan-aturan tersebutlah Christian Gonzales bisa bermain untuk tim nasional sepak bola. Gonzales telah memenuhi syarat karena telah merumput di Indonesia mulai tahun 2003. Debut Gonzales bersama tim nasional adalah pada pertandingan persahabatan antara Indonesia dengan Timor Leste pada 21 November 2010.


B.    KEWARGANEGARAAN RI DIPEROLEH MELALUI
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.     setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.    anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.    anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.    anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.    anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.    anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.    anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.  anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.     anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.    anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.    anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.    anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.     Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.    Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia